“Si A itu galak”.
“Si B itu nyebelin lho”.

Wah, yang bener? Kalimat sederhana itu?
Betul.
Kok bisa?
Mari kita bahas satu per satu. Pertama, dua kalimat tersebut
jelas mengandung lost performative. Keduanya sama-sama tidak diberi subyek
pengucap, sehingga seolah-olah ia adalah pendapat banyak orang, bahkan semua
orang. Padahal, apa benar demikian? Menurut siapa Si A dan Si B galak dan
nyebelin? Apakah menurut sahabat mereka juga demikian? Bagaimana dengan
suami/istri mereka? Atau orang-orang yang pernah mereka bantu?
Kedua, kata ‘galak’ dan ‘nyebelin’ adalah 2 kata yang tidak
spesifik. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan galak? Apakah ia teriak-teriak?
Atau marah-marah? Atau berkata ‘ketus’? Apa pula yang dimaksud dengan
‘nyebelin’? Apakah ia seorang yang usil? Tidak kooperatif dalam bekerja sama?
Tidak peduli lingkungan?
Ketiga, kedua kalimat tersebut juga mengandung generalisasi
dan delesi. Bagaimana tidak? Mungkinkah ada orang yang selalu galak setiap
saat, setiap waktu, setiap tempat, kepada setiap orang? Anda tentu sepakat
untuk menjawab tidak, kan? Ya, sebab kalaupun ada orang yang demikian, pastilah
ia sudah lama meninggalkan dunia ini.
Loh, kok?
Ya iya lah. Kondisi marah adalah kondisi emosi yang sangat
intens. Seluruh tubuh berada dalam titik yang ekstrim, sehingga tidak mungkin
seseorang mampu bertahan dalam kondisi tersebut setiap saat kalau tidak
mengalami stroke.

Dan, apakah masih ada pola-pola pelanggaran lain? Tentu,
silakan Anda temukan.
Nah, semua hal ini tidak terjawab jika pendengar hanya
mendengarkan kalimat tersebut. Karenanya, sesuai struktur kerja pikiran yang
selalu berusaha untuk mencari sebuah penyelesaian dari loop yang sudah terbuka,
maka pendengar pastilah akan mencari makna sendiri.
Makna apakah itu?
Ya tergantung pendengarnya. Ini yang dinamakan proses TDS
alias transderivational search. Atau, mudahnya, proses pencarian ke dalam
pikiran masing-masing pendengar, makna yang paling cocok dengan informasi
tersebut. Maka Anda tentu bisa membayangkan berapa banyak kemungkinan persepsi
yang muncul dalam benak para pendengar, kan?
Ya, sebanyak pendengar itu sendiri!

Lalu apa efeknya?
Tanpa disadari, para pendengar sedang menempelkan kondisi
pikiran-perasaan yang telah ia akses terhadap memorinya tentang Si A dan Si B.
Dan bahkan ketika mereka sebenarnya belumlah mengenal siapa keduanya, mereka
sudah memiliki persepsi subyektif bin negatif tentang keduanya.
Benarlah sebuah ajaran Nabi Muhammad SAW yang mengatakan
bahwa banyak orang yang berjalan ke neraka dengan wajah mereka, semuanya tak
lain adalah karena lisan. Benarlah pula bahwa fitnah itu jauh lebih kejam
daripada pembunuhan.
Maka mengapa kita tidak memohon ampun terhadap
entah berapa banyak kalimat serupa yang pernah tanpa sengaja kita ucapkan? Dan,
mengapa pula kita tidak mendeklarasikan diri untuk, mulai sekarang, senantiasa
menjaga setiap kata yang terlontar dari mulut kita?
sumber: Ferry Iswara facebook posting