Saturday, July 19, 2014

Hormon Kebahagiaan

hehe... jangan berfikir apa-apa dulu ya, tentang 'hormon' kebahagiaan.

Berikut pejelasannya.
Kita sering mendengar ungkapan ini dari para orangtua kita sejak zaman dulu: “Jangan suka marah, orang marah lekas tua”. Ternyata ungkapan tersebut menemukan kebenarannya pada abad 21 ini setelah diteliti oleh seorang dokter Spesialis Bedah Saluran Pencernaan di Jepang.

Di dalam tubuh kita terdapat senyawa kimia yang disebut “hormon kebahagiaan”. Jika kita berperilaku positif, hormon tersbeut mendatangkan kebahagiaan, tetapi jika berperilaku negatif (misalnya marah) maka hormon tersebut menjadi racun bagi kita

Di bawah ini ada sebuah tulisan yang saya dapat dari sebuah milis. Tulisan ini dicuplik dari buku “The Miracle of Endorphin”, tulisan Dr. Shigeo Haruyama, Spesialis Bedah Saluran Pencernaan di Jepang.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Konon, di dunia pengobatan Timur dahulu, jika seseorang yang sakit mendatangi tabib/dokter, maka tabib/dokter harus membungkukkan diri di depan pasien dan meminta maaf. Alasannya, dokter hendaknya bertanggung jawab mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Mungkin hal ini terasa aneh, namun sejatinya memiliki arti yang sangat mendalam, bagaimana tidak, seorang penyembuh atau seorang dokter seharusnya memiliki tugas untuk membuat orang-orang menjadi sehat dan mencegah mereka menjadi sakit, bukannya malah menjadi pahlawan kesiangan yang mengobati setelah penyakit timbul.

Sebenarnya, tubuh manusia memiliki fungsi pertahanan yang dapat melindungi dari segala jenis penyakit. Jika mekanisme ini berjalan dengan semestinya, keluhan-keluhan seperti kanker, kardiovaskular, kerusakan pada jaringan pembuluh otak, yang saat ini banyak terjadi, akan jauh berkurang. Dengan kata lain, kita bisa tetap sehat tanpa harus mengonsumsi obat-obatan atau produk buatan lainnya jika kita menjaga pola makan sekaligus mengatur sekresi hormon dan sistem kekebalan tubuh.

Di dalam otak manusia, dilepaskan senyawa-senyawa yang mirip dengan morfin. Di samping memiliki efek menenangkan dan dapat meningkatkan suasana hati, kerja farmaseutikal senyawa-senyawa ini juga luar biasa, antara lain membatu memperlambat proses penuaan dan memperkuat penyembuhan diri sendiri.

Dr. Shigeo Haruyama, dalam bukunya “The Miracle of Endorphin”, secara lugas menyebut senyawa-senyawa itu sebagai Hormon Kebahagiaan. Tubuh manusia memproduksi hingga 20 hormon kebahagiaan. Dari ke-20 hormon kebahagiaan itu, Beta-Endorfin lah yang paling kuat efeknya. Kata “Endorfin” sebenarnya merupakan singkatan dari Endogenous Morphin, yang artinya kurang lebih morfin yang diproduksi di dalam tubuh.

Jika hormon kebahagiaan dilepaskan dalam jumlah cukup, efeknya tidak hanya pada otak, tetapi sampai ke seluruh tubuh, dan semua berguna. Keberadaan senyawa ini memang sudah lama dikenal, namun orang tidak terlalu memperhatikannya karena diyakini bahwa selain efek analgesik, tidak ada keistimewaan lain yang dimilikinya. Belakangan, terjadi lompatan besar penelitian dan diakuilah bahwa hormon kebahagiaan menyimpan potensi khasiat luar biasa.

Jika seseorang marah dan merasa sangat tertekan, otaknya mengeluarkan Noradrenalin, hormon yang sangat beracun. Di antara racun alami, hormon ini menempati urutan kedua setelah bisa ular. Tentu saja zat ini sangat sedikit diproduksi otak. Namun, jika orang yang bersangkutan terus-menerus marah dan tertekan, racun ini akan membuatnya sakit, lebih cepat tua, dan bahkan bisa berakibat fatal. Tidak berlebihan jika dikatakan Noradrenalin berperan dalam setiap penyakit.

Di sisi lain, ada pula hormon yang disebut Beta-Endorfin, yang merupakan hormon paling berkhasiat di antara hormon kebahagiaan. Ada korelasi antara kedua jenis hormon ini. Jika seseorang mendapat penolakan atau merasa tertekan, di dalam otaknya dilepaskanlah hormon noradrenalin yang bersifat racun. Sebaliknya, jika untuk situasi yang sama dia mendapat mendapat jawaban “itu bagus” atau bersikap positif, hormon beta-endorfin yang akan mengalir.

Jika kita mengalami sesuatu yang menyakitkan dan tak menyenangkan, lalu memberikan reaksi penolakan, noradrenalin yang akan dibebaskan. Namun, jika kita belajar sabar dan berusaha mengatasi tahap hidup yang tersulit sekalipun, hormon kebahagiaan yang akan mengalir.

Kita semua hidup dalam masyarakat yang sarat tekanan/stres. Dan ketika kita teramat stres, munculah hormon beracun sebagaimana yang dibicarakan sebelumnya. Jika hormon ini diproduksi dalam jumlah tepat, ia menjalankan fungsi yang bermanfaat bagi tubuh. Namun dalam jumlah besar, ia dapat mempersempit aliran darah ke jantung.

Penyempitan pembuluh meningkatkan tekanan darah, dan ini akan dengan mudah membuat pembuluh darah menjadi tersumbat. Jika vena besar di otak tersumbat, maka terjadilah stroke. Hormon kebahagiaan membantu mengembalikan kondisi pembuluh darah menjadi normal seperti semula dan menjaga agar darah dapat mengalir dengan mudah dan bebas hambatan.

Beta-endorfin penangkal stres akan terbentuk jika kita bereaksi dengan pikiran positif. Sebaliknya, hormon itu tidak akan dibebaskan jika kita bersikap negatif. Sebagai gantinya, muncul substansi lain, yaitu noradrenalin dan adrenalin, yang tidak hanya beracun, tetapi juga memicu pembentukan oksigen aktif (radikal bebas) yang seringkali dicurigai sebagai pemicu penyakit2 degeneratif, kanker, dll.

Orang Jepang punya peribahasa, ”penyakit datang dari pikiran”. Seharusnya, bukan ”men sana in corpore sano”, tetapi dalam pikiran dan jiwa yang sehat lah, akan lahir pula tubuh dan fisik yang sehat.

Menurut psikolog Abraham Harold Maslow (1908-1970), manusia memiliki 5 tingkat kebutuhan, yaitu:
1. Kebutuhan dasar jasmani, spt makan, minum, tidur, hubungan suami-istri. Kebutuhan dasar ini juga sesuai dengan gambaran otak reptilia.
2. Pada tingkat berikutnya, ada pula kebutuhan akan keamanan. Ketika perut kosong, kita mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dalam kondisi ekstrim, manusia bahkan bisa mengabaikan rasa malu dan bahaya, untuk memenuhi kebutuhan dasar itu. Namun, begitu kebutuhan tersebut tercapai, secara bertahap kita mulai memikirkan keamanan diri sendiri.
3. Ketika jenis kebutuhan pertama dan kedua sudah dipuaskan, tingkat selanjutnya adalah kebutuhan hubungan sosial, yang melibatkan kebutuhan individu untuk hidup dan diterima sebagai anggota suatu kelompok, bermasyarakat. Dalam tingkat ini, termasuk pula kebutuhan untuk mencintai/dicintai dan bekeluarga. Otak mamalia pada umumnya, memiliki gambaran/struktur yang sama hingga tingkat kebutuhan yang ke-3 ini.
4. Kebutuhan kita berikutnya adalah pengakuan dari orang lain, yang biasanya juga berkaitan dengan harga diri. Di dalamnya juga termasuk, antara lain, rasa diri lebih hebat daripada orang lain. Di baliknya terdapat hasrat untuk membuat diri bangga lewat hal-hal tersebut, dan harapan bahwa prestasinya diakui orang lain. Medali, gelar, julukan, jabatan adalah perwujudan dari hasrat ini.
5. Tingkat kebutuhan yang terakhir dan tertinggi adalah aktualisasi diri. Pada tingkat ini, seseorang tengah berusaha ”melupakan” dirinya, namun semata-mata ingin memberi manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain. Dalam bahasa yang lain, tingkatan ini membimbing seseorang menuju ranah ketuhanan (transenden).

Fungsi dan kerja otak ternyata berkesuaian dengan teori tingkat kebutuhan tersebut.

Perasaan bahagia yang ditimbulkan hormon kebahagiaan akan semakin kuat dengan semakin tingginya tingkat kebutuhan seseorang. Orang yang mencapai ranah lebih tinggi, biasanya jarang sakit dan memiliki kesempatan hidup yang lebih baik. Penelitian terhadap hormon kebahagiaan membuktikan bahwa manusia bisa awet muda dan bersemangat jika mereka menjalani hidup dengan benar dan berjuang demi kesejahteraan sesama.

Manusia memiliki mekanisme pengaturan keseimbangan dalam sistem metabolisme-nya, yang dikenal sebagai ”homeostatis”. Sebagai contoh, pori-pori kulit akan mengerut karena kedinginan untuk menghindari hilangnya kehangatan tubuh. Saat kepanasan, pori-pori membuka dan mengeluarkan keringat untuk mengerem kenaikan suhu tubuh. Mekanisme homeostatis yang terdapat pada semua organisme ini juga berfungsi pada hormon. Ketika noradrenalin atau adrenalin dilepaskan, serotonin pasti ikut dibebaskan untuk menghambat pengaruh kedua hormon stres tersebut. Reaksi ini dikenal sebagai ”umban balik negatif atau umpan balik penghambat”.

Tubuh manusia juga memiliki sebuah mekanisme yang bekerja seperti termostat elektrik, untuk menghindari kemungkinan fungsi yang berlebihan.

Untuk mengerem pengaruh hormon kebahagiaan, terdapat senyawa pembawa pesan (neurotransmiter) bernama asam gama-aminobutirat (GABA). Ketika rasa lapar tidak dipenuhi, ia menjadi kebutuhan yang memaksa. Namun, jika perut sudah terisi penuh dan memberi manusia rasa senang (dan kenyang), maka senyawa GABA itu dapat membuat makanan yang paling disukai pun tidak menarik minat lagi.

Namun, ada fenomena ganjil yang patut dicermati: mengapa senyawa ini tidak memberi umpan balik negatif saat bagian otak yang paling berkembang yang hanya ada pada manusia, yakni lobus frontal, mendapat rangsangan untuk mengeluarkan hormon kebahagiaan? Bagaimana kita menjelaskan bahwa zat pengerem yang biasanya otomatis dikeluarkan, justru tidak dibebaskan jika bagian otak yang paling berkembang ini aktif?

Ketika kita berusaha dengan berlebihan memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah (tingkat 1 hingga tingkat 4), pemenuhannya menunjukan bahwa ada efek samping yang muncul. Kelebihan makanan mengantarkan pada obesitas dan penyakit gaya hidup. Berkembangnya fungsi umpan balik negatif boleh jadi bertujuan untuk menekan kemunculan momok yang tidak diinginkan ini.

Namun, ketika kita memanfaatkan bagian otak yang tertinggi untuk memperjuangkan kesejahteraan dunia dan umat manusia, berbuat baik untuk sesama, jelas tidak ada yang dapat menghalanginya. Bukan hanya bebas bekerja, otak juga mengeluarkan banyak hormon kebahagiaan yang membawa kita pada kebahagiaan hakiki/puncak. Situasi ini terasa seperti kita sedang menjalankan kehendak Sang Maha Pencipta. Maslow menamainya ”pengalaman puncak”. Substansi otak kita dapat digambarkan sebagai keadaan saat sumber beta-endorfin tidak ada habisnya diproduksi.

Hormon kebahagiaan menunjukan kepada kita bahwa inilah kunci kebahagiaan abadi dan tertinggi dalam hidup
.

oleh Dr. Shigeo Haruyama, dalam ”The Miracle of Endorphin”, terbitan Mizan.

sumber:  rinaldimunir.wordpress.com