Wednesday, September 02, 2009

Ada Pembatas Diantara Kita

Mungkin diantara kita, ada yang merasa hidup ini ga adil ?
keadaan sulit sekali, terjebak rutinitas, susah untuk bahkan pecah telor ?
Kenapa dia dapat begitu, dan nasib gue begini? Kemana adanya Tuhan?

Tulisan rekan dibawah ini, mungkin bisa jadi renungan.
Salam,
ILALANG

---------------------------------------

Perlahan-lahan ruangan kerja saya menggelap....
Padahal matahari mencorong pagi ini, "ada apa ya?".
Saya agak heran, kaca di depan terang, kok di sebelah kiri saya gelap.
Seolah-olah ada yang menutupi.
"Ouu.., rupanya diluar, disebelah kiri, ada dua kawat seling yang bergerak, diikuti dari bawah dengan munculnya gondola membawa dua pekerja yang akan membersihkan kaca-kaca gedung. "Reeeet..jeg", stop. Persis di samping meja komputer saya. Ini penyebabnya to, pantes sinar matahari pagi yang biasa menembus ke ruangan menjadi terhalang.
Kursi saya putar menghadap ke mereka.

Ada pembatas diantara kami, kaca kantor gedung bertingkat.

Mereka bergelantungan di dalam kotak sempit, diketinggian sekitar 20 meter dari tanah.
Saya duduk dikursi empuk, berputar, di gedung kantor pada lantai 13.
Mereka memakai pakaian kerja seadanya dan kotor, lengkap dengan topi.
Saya berpakaian necis, lengkap dengan dasi.
Mereka bekerja dengan air sabun, lap, dan karet pembersih. Saya bekerja dengan komputer.
Mereka kerja berkeringat karena kepanasan. Saya kerja nyaman karena hembusan alat pendingin. Mereka muda. Saya tua.

Resiko pekerjaan mereka, jatuh dan mati. Resiko pekerjaan saya, pusing dan stress.
Saya tersenyum dengan mereka. Satu orang membalas dengan senyuman juga, sedang temannya sibuk menyiram kaca dengan air sabun. Terlihat titik-titik keringat keluar dari dahi mereka. "Hauskan mereka?", karena saya tidak melihat ada botol atau termos air minum. Ingin saya membantu mereka, tetapi terhalang.

Ada pembatas diantara kami, kaca kantor yg kuat dan tebal.
Saya menduga-duga dalam hati, tamatan apakah mereka? Mungkin SD, mungkin SMP, mungkin SMA atau STM. Tapi rasanya sekarang sudah jarang orang tamatan SD dan SMP yang diterima kerja di perusahaan kontraktor. Pastilah mereka lulusan SMA atau STM.

Saya perhatikan staf-staf saya sampai tenaga administrasi di ruangan kerja. Iya, ya. Semua staf rata-rata tamatan universitas, sedang sebagian besar tenaga adminstrasi rata-rata tamatan SMU. Hanya sebagian saja yang tamatan universitas. Dan sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pekerjaan adminstrasi di perkantoran saat ini diserahkan kepada kontraktor. Begitu juga di kantor saya, sebagian besar tenaga kerja administrasi adalah kontraktor. Hanya clerk senior, sekretaris, dan staf-staf saja yang ditanggung langsung oleh perusahaan. Berapa gaji mereka?. Pernah hal ini saya tanyakan kepada salah satunya, "Satu setengah pak". Satu setengah juta rupiah untuk tenaga kerja adminstrasi selama delapan jam, dengan pekerjaan didepan komputer, dan surat menyurat. Mereka yang diluar itu berapa ya?, dan gaji saya? Hah, beda berlipat-lipat.

Ada pembatas diantara kami, walaupun sama-sama bekerja.
Ada pembatas diantara kita, karena beda waktu pendidikan hanya enam tahun.
Saya pernah mengalami seperti mereka. Baru satu tahun saya kuliah di Yogya, Bapak saya meninggal. Karena mengingat keuangan keluarga tidak memungkinkan saya memutuskan berhenti kuliah, dan mencari kerja. Dalam waktu yang pendek, saya diterima bekerja di perusahaan pupuk di daerah Sumatera, sebagai tenaga operator produksi. Hanya dengan ijazah SMA, dan setelah melalui seleksi berkali-kali dan lama, dilanjutkan dengan training enam bulan.

Pada saat training, saya lihat banyak kelas didalam gedung tersebut. Ada yang untuk kami, ada yang untuk kursus karyawan, dan ada juga yang untuk training karyawan staf. Saya...., ya training untuk tenaga non-staf. Waktu training tidak mendapatkan gaji, karena sistem gugur. Alhamdulillah, saya lulus, dan teken kontrak untuk percobaan satu tahun dulu.

Dapat gaji seratus ribu dibulan pertama, Februari 1981. Pekerjaan saya berat, karena harus bekerja fisik, dan melalui sistem shift. Kadang lima hari kerja malam, libur dua hari. Berikutnya kerja siang lima hari, libur lagi. Masuk kembali kerja sore. Begitulah terus-terusan.

Pada suatu saat, pernah saya sedang mengoperasikan pompa yang ngadat, datang seorang supervisor mendekati saya. "Berapa lama lagi pompanya bisa jalan, dik?".
"Kira-kira sepuluh menit, pak". "Ok, kalau sudah kasih tahu saya, ya". Saya lihat dia mencatat sesuatu, dan pergi.
Namanya Pak Agus, tamatan Teknik Kimia UGM. "Enak benar ya, kerjanya".
Dari obrolan sesama teman sekerja, saya menangkap kalau gaji mereka yang baru sekitar satu juta rupiah, atau sepuluh kali lipat dari saya.

Ada pembatas diantara kami, Saya lulusan SMA, dia lulusan universitas.
Saya operator, dia supervisor.
Saya non-staf, dia staf.
Beda 7 golongan antara saya dan dia. Bila kenaikan dari satu golongan ke golongan yang lebih tinggi dibutuhkan minimal tiga tahun, berarti 21 tahun lagi saya mencapai jabatan supervisor.

Ada suatu keinginan untuk merubah nasib, saya ingin jadi Insinyur, saya harus sekolah lagi. Berhasil.
Saya lulus dan diterima di universitas negeri di daerah itu. Karena kerja saya shift, maka waktu kuliah dan bekerja dapat diatur. Apalagi banyak teman yang membantu untuk menggantikan posisi di tempat saya bekerja bila bersamaan waktunya dengan ujian di kampus. Karena diselingi dengan bekerja, maka enam tahun akhirnya selesai. Cita-cita saya menjadi Insinyur tercapai juga.
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunianya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu" (QS An-Nisaa:32).

Dalam lamunan, saya dikagetkan dengan suara ketukan. Saya tersentak. Saya lihat ke arah pintu tidak ada tamu. Tapi ada ketukan lagi. Oh, dari jendela. Mereka mengacungkan jempol, dan perlahan-lahan gondola mereka turun ke bawah. Rupanya sudah selesai, dan mereka pamit.
Mereka tersenyum sewaktu saya lambaikan tangan.
Mereka pasti melihat saya, mungkin hati mereka juga berkata, "alangkah enaknya bapak itu kerja di dalam".

Tapi, pernahkah terlintas dalam pikiran mereka untuk merubah nasib?
Sehingga mereka dapat menembus batas pemisah kehidupan?
Mudah-mudahan suatu saat mereka membaca tulisan ini...........
===================

Postingan dari seseorang yang mengaku bernama sinang bulawan