Tuesday, August 25, 2009

Hidup Bersahaja vs Boros

Di dalam dompet manusia modern selalu dijumpai kartu kredit alias uang plastik. Produsen kartu kredit mendedahkan (menanamkan, ilalangliar) dogma bahwa dengan menggunakan kartu kredit, semuanya beres. Praktis dan aman penggunaannya. Dalam konteks ini, pengguna kartu kredit mengemas dirinya dalam lingkaran kehidupan yang dikendalikan oleh aktivitas hutang. Semakin banyak kartu kredit yang dimilikinya, semakin bebas membelanjakan uangnya. Semakin banyak hutang yang dimiliki, maka mereka dinobatkan sebagai warga masyarakat modern. Mereka juga mendapatkan sertifikat sebagai anggota masyarakat yang paling terhormat di jagat raya ini.

Atas nama kemasan gaya hidup modern, jaringan kapitalisme global selalu merayu pembeli dan calon pembeli agar senantiasa setia dibabtis menjadi konsumen loyal. Lewat rayuannya yang dahsyat, para pemilik kartu kredit dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu berbelanja, agar para konsumen loyal ini mendapatkan diskon dan reward point atas objek barang dan jasa yang dibelinya. Di dalam benak konsumen loyal ditiupkan untaian kata mutiara: ‘’Demi sebuah rasa aman, berbelanjalah dengan menggunakan kartu kredit. Demi sebuah kenyamanan hidup di abad modern, berbelanjalah dengan cara berhutang. Sebab hidup dalam naungan hutang adalah representasi manusia modern’’

Berdasarkan inspirasi kata mutiara tersebut di atas, manusia modern akhirnya memegang prinsip hidup sebagai berikut: ‘’Hidupku untuk hutang dan hutangku untuk hidup’’. Dengan demikian, manusia modern harus bekerja keras mengumpulkan uang sebanyak-banyak, agar dapat melunasi hutang-hutangnya, untuk kemudian hutang kembali agar bisa membeli berbagai produk barang dan jasa yang dikemas secara modern. Prinsip gali lubang tutup lubang menjadi panglima sikap manusia modern. Demikian seterusnya sehingga lingkaran setan konsumtivisme saling sambung menyambung tanpa terlihat pangkal ujungnya.

Di dalam potret rumah tangga modern, tabiat boros menampakkan wajah buruknya sebagai sebuah sublimasi bagi orangtua yang tidak mampu mendampingi anak-anaknya secara maksimal. Pasangan orangtua yang bekerja di luar rumah lebih dari 6 jam sehari cenderung mewujudkan naluri kasih sayang pada buah hatinya dengan sikap permisif memenuhi seluruh permintaan anak-anaknya. Memberikan uang jajan dalam jumlah berlebih. Membelikan barang-barang konsumtif yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh sang anak.

Akibatnya, anak-anak dengan mudah membelanjakan uang hasil ‘’sogokkan’’ orang tuanya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Mereka sangat paham dan hafal akan berbagai merek yang dikategorikan berkelas dunia lengkap dengan fitur-fitur keunggulannya. Mereka sangat memuja harta duniawi. Mereka pemuja konsumerisme dan hedonisme.

Lewat kartu kredit yang difasilitasi orangtuanya, akhirnya mereka menjadi sangat boros dalam membelanjakan uangnya untuk urusan konsumtif. Mereka penjadi konsumen potensial untuk produk industri hiburan, fashion, elektronika, otomotif, kuliner junkfood, rokok, bahkan narkotika dan psikotropika.

Sifat boros yang dikondisikan pejabat publik, wakil rakyat, dan orangtua yang super sibuk dalam perkembangannya memendam bom waktu. Setiap saat mudah meledak. Ledakan itu sudah menggantung di pelupuk mata. Hal itu terlihat ketika generasi muda cenderung menunjukkan tabiat malas mengolah segala potensi rasa dan karsa menjadi karya nyata yang mampu mewarnai dunia. Dampaknya, Indonesia menjadi bangsa yang lembek daya juangnya. Bangsa yang mudah dikibuli negara asing. Kita menjadi bangsa yang mudah bingung dan tersinggung karena tidak punya potensi dan jatidiri.

Generasi muda yang terjebak tabiat boros ini cenderung tidak pernah mau berpikir pentingnya sebuah proses alamiah dalam kehidupan demi menjaga upaya pendewasaan diri. Mereka menjadi sekelompok generasi instan yang tahunya serba beres, enak, bebas tanpa kendali, menyenangkan, dan tampak modern. Mereka menjadi generasi cuek, santai, abai akan masa depan, dan lingkungan hidupnya.

Pada titik ini, generasi boros sejatinya, setengah hati, jiwa dan pikirannya sudah dipasrahkan secara damai kepada produsen kapitalisme global. Mengapa demikian? Para penjajah ekonomi yang mengenakan jubah modernisme menyihir generasi boros dengan pola penyeragaman selera, citarasa, cita-cita, dan gaya hidup. Dikendalikan remote control kapitalisme global. Dihipnotis menjadi keledai dungu. Dikendalikan negara asing yang menjajah secara ekonomi, kebudayaan, dan ideologi.

Ironisnya, atas kenyataan miris semacam itu, mereka justru merasa tidak terjajah. Mereka sangat puas dengan instalasi merek impor yang melekat erat dalam badan sanubarinya. Mereka sangat bangga ketika dilantik menjadi konsumen loyal. Mereka tersanjung saat mendapat julukan konsumen setia.

Tabiat boros harus segera dihentikan, minimalnya dikurangi. Ketika dalam hidup dan kehidupan kita lebih mengedepankan tabiat boros dan mengumbar energi negatif untuk kesenangan sesaat, maka wacana ketidakseimbangan itu sejujurnya sedang membakar tubuh mungil kita. Artinya, tubuh kita seolah-olah merasa lapar, haus dan dahaga yang setiap saat harus dipenuhi dengan mengonsumsi berbagai produk yang hampir semua pengadaannya dengan jalan mengeksploitasi alam raya secara semena-mena dan subversif.

Kita harus ingat, hidup ini hanya mampir ngombe alias sesaat. Untuk itu agar terjalin keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, seyogianya mulai mengedepankan pola hidup bersahaja, hemat, prasaja, eling, lan waspada. Sebab dengan menjalani hidup secara bersahaja, sejatinya akan menghindarkan orang-orang yang kita sayangi melakukan tindak pidana korupsi.

Selain mengedepankan pola hidup bersahaja, seyogianya perlu juga selalu memupuk rasa solidaritas kepada sesama umat manusia dalam untaian kasih sayang tanpa pamrih. Dan lebih penting lagi, senantiasa berserah diri kepada sejatinya hidup yakni Allah yang Maha Esa.



sumber: http://spiritkampung.blogspot.com/