Monday, August 28, 2006

Karena Aku Ingin Menangis

"Kenapa kamu menangis?"

Itu pernah menjadi pertanyaanku. Semasa kecil, beranjak remaja dan kini.

Masih ada tanya dalam hatiku, kenapa air mata diciptakan, sehingga orang menangis?


Waktu ku kecil, masih kuingat aku bertanya-tanya pada ibuku, kenapa dan untuk apa ada tangis. Waktu itu, aku merasa tangis itu tidak perlu ada. Tapi kata ibuku, waktu kecilku, aku sering menangis. Terutama bila keinginanku tidak terpenuhi, kata ibuku, aku marah. Dan bila rasa marahku tidak tertumpahkan, aku menangis.

Beranjak umurku, mulai ku ingat-ingat, bahwa rasanya memang dulu akupun menangis


Ketika acara perpisahan kelas enam, (saat itu aku baru kelas 3 di sekolah dasar) aku bersama beberapa temanku diminta membawakan drama. Pada saat aku 'mentas' kulihat mata bapakku berkaca-kaca. Sepertinya beliau menangis.

Namun, aku masih belum mengerti, mengapa ada tangis itu.


Ketika remaja, aku menyaksikan acara pernikahan. Waktu itu, aku merasa aneh, kenapa setelah selesai acara pernikahan itu, pengantinnya bergantian memeluk kedua orang tuanya dan mereka-pun menangis.


Ketika aku merantau, dan lama sekali tidak pulang. Aku merasa sangat merindukan orang tuaku dan akupun merindukan kampung halamanku. Setelah tiga tahun penantian itu, akhirnya aku bisa mengumpulkan uang untuk pulang menemui orang tuaku. Sesampainya di rumah sederhana kami, aku menyambut hangat tangan ibuku. Dan ibuku, memelukku erat, sambil menangis. Akupun ikut menangis.


Ketika bercerita persoalan yang dihadapinya, seorang temanku ada yang sampai menangis. Katanya dia merasa sedih, dia merasa berduka. Aku mulai menduga-duga, bahwa menangis disebabkan karena sedih, atau disebabkan karena dia berduka.


Saat alat komunikasi belum maju seperti saat ini, surat menyurat menjadi alat komunikasi utama. Pada waktu membaca surat, pernah seorang teman mengatakan bahwa ia sering menangis saat membaca surat yang dikirimkan padanya. Aku-pun menduga-duga, bahwa dia menangis karena dia gembira. Gembira karena isi surat itu membuatnya bahagia. Dan diapun menumpahkan kebahagiaanya lewat menangis.


Kini, saat alat komunikasi semakin maju, orang-orang menggunakan sms atau imel untuk berkomunikasi. Ada juga yang mengatakan bahwa saat membaca sms yang dikirimkan padanya, ia juga menangis. Ia mengatakan bahwa saat ia membaca imel dari seseorang, dia juga menangis.

Kali ini aku juga menduga-duga bahwa ia bahagia dengan isi sms atau imel yang dibacanya. Dan, iapun menangis.


Aku mencari-cari di buku-buku, mengapa orang menangis. Di buku yang kubaca itu, dituliskan bahwa menangis merupakan bentuk luapan emosi seseorang terhadap keadaan yang terjadi pada dirinya, bisa karena sedih atau karena gembira. Menangis bisa juga disebabkan karena perasaan gagal yang terjadi padanya. Menangis juga bisa terjadi bila terdapat perasaan berhasil dalam hatinya.

Dalam hatiku kembali terbetik tanya, emosi yang seperti apa sehingga orang menjadi menangis. Perasaan gagal dan berhasil seperti apa, sehingga orang menangis. Bukankah banyak orang yang gagal, banyak orang yang berhasil, tetapi tidak menangis? Apakah bila seseorang yang tidak bisa berbuat apa-apa juga dapat menyebabkan dia menangis?


Dalam suatu milis, pernah aku membaca suatu kiriman imel, "mengapa ibu menangis". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."

Seperti kata ibu dalam milis itu, saat ini masih ada tanya itu. Dan aku belum bisa menjawabnya. Aku merasa ingin menangis, mengapa aku tidak menemukan jawabannya.


Suatu hari, seorang teman berkata lewat handphone, bahwa dia akan menjemputku di rumah dan akan berangkat bersama untuk pergi ke tempat teman yang melaksanakan pernikahan.

"Nanti aku jemput ya? Kamu kan belum tau tempatnya. Jangan berangkat sama yang lain! Paling setengah jam aku tiba di tempatmu." Aku setuju, dan aku menunggu.


Setelah setengah jam dia belum datang. Satu jam, dua jam dia juga belum datang. Aku kirim sms, sms-ku memberi laporan menunggu. Aku coba telepon ke Hpnya, nggak aktip. Aku sedih, dia yang berjanji, tapi tidak ditepati. Aku hanya dijanjikan, tapi tidak dipedulikan. Rasanya aku ingin menangis. Aku merasa berduka, aku merasa sangat tergantung padanya, aku tidak dapat menghadiri pernikahan temanku itu. Aku tidak berdaya, dan aku juga marah. Aku terus menunggu dan menunggu. Aku menantikan berita darinya, hingga aku merasa letih, aku merasa capek dengan penantianku. Aku ingin menangis.


Dengan jari-jariku, aku menuliskan keadaan ini. Dan saat ada air mata yang menetes membasahi tut-tut keyboard komputerku, aku menyadari bahwa aku telah menangis.

Perasaanku bercampur aduk menjadi satu. Dan aku, masih belum mengerti mengapa aku menangis dengan penantianku.

Lewat tengah malam, ada sms yang masuk dalam HP ku. "Maaf, aku tidak bisa menjemputmu tadi. Aku berangkat ke tempat saudaraku. Tadi, kamu jadi berangkat kan?"

Aku hanya diam termangu membaca sms itu. Dan aku jadi bertanya, apakah aku perlu menangis lagi?


Tuesday, August 22, 2006

Kini, Aku Mengerti Sayangku

"Habis, mau gimana lagi. Aku nggak bisa apa-apa...!"
Aku sempat terkaget saat kata-kata itu meluncur dari mulutmu. Kata-kata itu memang benar. Benar adanya. Kamu sudah mengatakannya, bahwa kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Iya, ternyata terkadang aku terlalu memaksa dirimu untuk berbuat sesuatu di luar keinginanmu, terkadang aku terlalu memaksa dirimu untuk berbuat sesuatu di luar kemampuanmu.
Kata-katamu itu telah menghentakkanku, seakan menggugah hatiku tentang rasa 'ingin' dimengerti. Selama ini, tampaknya memang aku sudah terlalu banyak meminta padamu. Aku sudah terlalu banyak meminta pengertianmu. Selama ini, aku sudah terlalu banyak memintamu untuk berbuat sesuatu untukku. Dan... selama ini pula, kamu sudah melakukannya. Demi untukku. Pagi-pagi kamu sudah menyapaku, siang kamu mengingatkanku agar jangan lupa makan siang. Sore hari kamu kembali mengingatkanku untuk berhati-hati di jalan. Atau bila aku pergi, kamu selalu menyempatkan diri untuk berkirim SMS dan mengatakan "hati-hati di jalan Say". Malam hari, kamu 'menemaniku' hingga menjelang tidurku. Dalam tengadahmu, akupun tahu namaku menjadi bagian dari do'a-do'a yang engkau panjatkan. Pada saat di rumah, pada saat kamu kerja apalagi pada saat kamu pergi dalam perjalananmu, aku masih sempat meminta kamu untuk selalu mengabariku lewat SMS.
Aku sudah sangat banyak meminta padamu, wahai Sayangku. Aku sudah sangat banyak memintamu untuk mengerti aku. Dan sudah sangat banyak yang engkau berikan padaku. Perhatian, kasih sayang dan pengertianmu.

Maafkan aku sayang, selama ini sepertinya aku tidak menyadarinya. Namun percayalah,
kamu adalah bagian yang sangat penting dalam hatiku, dan kamu telah memberikan warna yang sangat indah dalam kehidupanku selama ini :)

* sayangku, saat pengertian itu datang, aku menyadari bahwa aku semakin mencintaimu *

Hari ini

Ajaklah aku terbang ke sana wahai bintang
biar aku bebas melihat dunia dari atas sana
Ajaklah aku terbang ke sana wahai bintang
biar di atas sana
aku bisa mencari kemana perginya burung perenjakku
yang pergi tanpa berita.

*aku rindu kamu Sayang, dimana kamu berada?*

Friday, August 18, 2006

Catatan Yang Belum Selesai

Tangerang, 18 Agustus 2006, 00:00 (saat pergantian hari...)

Bukankah sebuah catatan pun akan banyak bercerita tentang perjalanan yang engkau tapaki?

Kepalaku terasa lebih ringan setelah kelelahan yang kualami, saat satu dua teguk air putih melewati kerongkonganku. Tubuhku memang kurasakan agak berat, setelah seharian aku menghabiskan pagi hingga malamku ikut dalam aktifitas ‘tujuhbelasan’ di tempatku kerja dan di kampungku tinggal – kampung Sembung. Tanggal 17 Agustus memang memiliki makna yang mendalam bagi bangsa ini.

Aku tersentak saat ‘reminder’ di komputer berkedip-kedip. “jangan lupa tanggal 18 Agustus!”.

Iya, aku tidak akan lupa tanggal itu. Tanggal yang memiliki makna yang sangat besar bagi seseorang, istriku.

Rasanya, ingin aku membangunkanmu. Mengajakmu berbincang-bincang. Tapi, aku merasa sangat bersalah bila ternyata dengan caraku itu, malah mengganggumu. Akupun tidak mau mengusik ‘mimpimu’ di sana apabila ‘tiba-tiba’ aku hadir. Aku tidak mau Sayang. Biarlah, aku menatap wajahmu dari sini. Mendekapmu erat, melantunkan kata sayang dan cinta dengan caraku.

Kasihku, dalam kesunyian malam, semoga Tuhan mendengar do’aku untukmu. Kamu tahu, apa yang ku panjatkan?

Catatan kita belum lagi selesai sayangku, walau seberapa panjang yang dapat kita goreskan kita juga tidak mengetahuinya.

Catatan kita belum lagi selesai sayangku. Pagi akan berputar menuju siang, siang merambat mencapai senja, senjapun beranjak memeluk malam. Terus, dan terus akan berputar. Dan catatan kita akan semakin panjang.

Selamat Ulang tahun Sayangku, Kekasihku, Istriku. Semoga kamu semakin mencintaiku, dan semoga goresan pena dalam catatanmu akan berisi cerita-cerita bahagia sepanjang hidupmu. Amiin..

Tuesday, August 08, 2006

Tuntaskan!

Minggu yang lalu, kami melakukan survey. Survey terhadap pengelola catering yang mengajukan proposal untuk mengisi kantin di tempat kami bekerja. Saya selaku unsur serikat pekerja bersama seorang dari Manajemen dan seorang lagi dari panitiakecil yang dibentuk. Di perjalanan beberapa kali, teman kami (wakil panitia kecil tadi yang kebetulan dari bagian Maintenance) mendapat panggilan lewat telepon genggam.
"Pak, telepon Mr. Sinouchi udah dibenerin?" pertanyaan dari ujung telepon sana.
"Udah, pak"
"loh, katanya lum bisa nelpon"
"iya, kemaren itu udah saya telpon ke Telkom. Orang Telkom udah dateng, katanya udah ok"
"tapi, tadi itu Mr. Sinouchi bilang, belum bisa dipake."
"iya, bisa jadi pak, soalnya kata orang Telkom, mungkin PABXnya jebol"
"Terus, berarti belum berfungsi dong...!"
"ntar saya mo telpon ke Panasonic biar ngecek PABXnya, mungkin harus ganti"
"lalu, kira-kira kapan? Kamu cepet balik deh!"
"Waduh, belum tau juga pak, bisa jadi harus ganti kabel segala, lagian ini nyampe juga belum pak, ntar sore deh..!"
-----
Pekerjaan atau apapun yang kita lakukan, sering tanpa kita sadari menjadi tidak tuntas, tertunda-tunda. Contoh kasus tadi seakan menjadi pembenaran, bahwa dengan hanya mengatakan udah ok dan ntar deh, semuanya udah selesai.
Dalam sebuah tulisan tentang disiplin sering kita baca bahwa penuntasan sering terhambat oleh proses intelektualisasi dan praktek berfilsafat, sehingga kita tidak fokus pada implementasi. Kita sering berfilsafat dan talk only tanpa melakukan langkah nyata. Padahal, dimanapun kita berada, terlebih-lebih di dunia kerja, menuntaskan suatu pekerjaan akan menjadikan kita bisa kompetitif dan produktif. Suatu hal yang menjadi modal utama untuk berkiprah di dunia kerja dan dunia nyata lainnya.
Kadang kita seakan tidak menyadari bahwa kita benar-benar hidup dalam dunia kerja. Dunia nyata. Dunia kerja adalah dunia dimana hanya hasil kerja yang berlaku. Dunia kerja adalah dunia action. (Begitu kata Eileen Rachman, seorang training provider terkenal). Selain itu, ungkapan time is money memang sangat sesuai dengan prinsip bisnis. Dalam dunia kerja, waktu menjadi tolok ukur utama dalam penyelesaian suatu pekerjaan, di samping tentunya competitive cost. Bila terlambat, maka customer akan kecewa, yang bisa berdampak larinya customer pada perusahaan lain. Ini tentu saja, ujung-ujungnya dapat berdampak negatif pada kita selaku pekerja.
Dalam pelaksanaan kerja, jangan terlalu banyak menanyakan mengapa?, tetapi tanyakan: kapan, apa, berapa dan oleh siapa. Dan berdaarkan teorinya, kitapun harus bisa menggambarkan action secara spesifik dan terukur, bukan analisa, apalagi: teori!
Dalam dunia manajemen, istilah follow up dan follow through sudah sangat sering kita dengar. Begitu seringnya, sehingga terkadang kita lupa berorientasi pada hasil. Padahal follow up dan folow through itu seharusnya berdampak pada hasil akhir. Artinya tindak lanjut tadi harus mendorong ke arah penuntasan, bukan penundaan!
Evaluasi memang sering membuat kita kawatir dan cemas. Tetapisebenarnya, inilah satu-satunya alat untuk membuat diri kita terbiasa mengukur kinerja. Evaluasi kinerja membuat kita berani gagal, dan juga lebih berani dalam mengambil resiko.
Sehingga, apapun persoalan yang kita hadapi dapat terselesaikan secara tuntas! Dan itu membuat kita lega. Hanya dengan rasa lega karena semua tugas sudah tuntas itulah, mental dan fisik kita benar-benar bisa merasa rileks dan merasa puas. Itulah salah satu bentuk kebahagiaan. Jadi, jangan menunda, ayo tuntaskan!

Wednesday, August 02, 2006

Dewasa...

Untuk menentukan apakah seseorang dikatakan dewasa atau belum, dapat ditinjau dari berbagai sudut. Dari segi hukum, tentunya dilihat dari undang-undang dan peraturan pemerintah. Misalnya saja peraturan penggajian yang menyatakan, anak yang sudah berusia 21 tahun tidak lagi ditanggung oleh ayahnya karena telah dianggap dewasa. Begitu kata seorang pakar yang jebolan sekolah hukum.

Dari segi psikologi perkembangan kedewasaan seseorang bukan hanya diukur dari kematangan fisik (tinggi/berat badan, terjadi kematangan seksual, dll) tetapi terutama dari segi kepribadian (sosial, kognitif, emosi, dan sebagainya) meski pada masa kini tidak ada batas yang tegas dalam hal usia untuk membedakan apakah seseorang sudah tergolong dewasa atau belum.

Hal ini terungkap dari pernyataan, "adolescence begins in biology and ends in culture". Saat berakhirnya masa remaja, dimulailah masa usia muda, masa di mana seseorang dituntut untuk menjadi orang yang dewasa. Namun bagi masyarakat tertentu (juga Indonesia?), kedewasaan seseorang itu dapat saja muncul di berbagai usia, tergantung kepada tuntutan apa yang hendak diterapkan.
Seperti contoh tentang peraturan penggajian misalnya. Atau UU Perkawinan kita yang menetapkan usia 18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki untuk diizinkan menikah (masih kita segera untuk menikah, hehehe...); atau 18 tahun untuk mengemudi mobil baik bagi lelaki maupun perempuan, dan lain-lain.

Ada masyarakat yang menetapkan seseorang dapat dianggap dewasa secara sosiologis jika telah mampu membiayai diri sendiri, telah memiliki karir, atau menikah (nah, ini menjawab pertanyaan temenku Piet tentang masalah nikah, halo Piet..! Are You hearing me?) Atau kematangan intelektual yang biasanya dicapai jika seseorang telah mampu berpikir abstrak. Atau kedewasaan emosi yang terukur dari kemampuan seseorang untuk mengontrol dirinya, telah memiliki identitas diri, dapat berpisah dari orangtua, sudah mengembangkan sistem nilai sendiri dan mampu membina hubungan persahabatan maupun cinta (kata-kata 'cinta' ini khusus untuk seseorang di Yogya sana, ini mungkin tentangmu Sayang...).
Namun perlu diingat, ada saja orang yang tetap belum dewasa secara emosional ataupun sosial berapa pun usia kronologisnya.

Dewasa, dalam kehidupan sehari-hari, mungkin merupakan suatu sikap yang ‘dianggap’ sesuai proporsinya untuk tiap-tiap suatu 'keadaan' yang dihadapinya. Mungkin gitu deh kira-kira.
Kok mungkin ya? :)